Monday, May 05, 2008

Manusia Se-simple Sapi?

Sabtu kemarin, seorang rekan yang jauh-jauh datang dari luar kota untuk mengunjungi tempat saya berdomisili, ternyata mempunyai tujuan ganda. Ia memberikan saya khotbah dan ceramah terbaiknya mengenai sebuah multi-level marketing (MLM) yang sedang digelutinya, tentu saja dengan harapan bahwa saya akan mengikuti MLM yang bersangkutan. Saya berharap dapat memberikan jawaban selain kata "tidak", namun toh tidak bisa. Kata "tidak" muncul dari bibir saya bukannya karena saya adalah seorang anti-MLM. Saya pribadi memang bukan tergolong orang yang mendewa-dewakan sistem MLM, namun juga tidak termasuk kalangan yang secara berlebihan menganggap bahwa MLM itu sampah, omong kosong, dan sebagainya; beberapa sistem MLM menurut saya pribadi cukup bagus dan masuk akal. Keengganan saya pada saat itu untuk mengikuti bisnis yang ditawarkan oleh teman saya, sesungguhnya alasannya simple saja dan ada dua. Pertama, malas - saat itu saya memang sedang malas mengikuti bentuk usaha seperti itu. Karena, jika mengikuti MLM, tentunya saya harus meluangkan modal yang pastinya ujung-ujungnya lebih besar daripada yang dikatakan, harus meluangkan waktu lebih banyak untuk mengikuti support systems, dan kegiatan-kegiatan membosankan lainnya. Kedua, saya tidak setuju dengan salah satu perkataannya mengenai apa yang disebut sebagai "karakteristik manusia."

Pembaca eDorado,
Sebelum saya sebutkan, Anda pasti sudah tahu apa saja "karakteristik manusia" yang dimaksud. Ya, betul. Sampai sekarang, kegiatan-kegiatan bisnis MLM tidak juga semakin maju dalam penelitian psikologi manusia, dan masih mengkotak-kotakkan terminologi karakteristik manusia dalam 4 label besar:

KOLERIS
SANGUINIS
MELANKOLIS
PRAGMATIS

(Saya cukup malas menjelaskan makna masing-masing istilah di atas. Silahkan cari sendiri referensinya yang tersebar luas di internet)

Dan dalam tiap MLM, selalu diajarkan untuk memahami, atau dalam kata sebenarnya adalah MERAMAL sifat dari sang calon downline yang bersangkutan agar sang presentator dapat menerapkan jenis presentasi mana yang harus dilakukan pada sifat yang mana.

Dan pengkotak-kotakan karakteristik manusia ini tidak hanya menyebar seperti virus di MLM saja. Dalam kehidupan sehari-hari, contohnya di lingkup siswa-siswi sekolah, masih sangat sering saya temui penyempitan pemahaman seperti itu. All of the cases were same and typical. Seorang siswa yang kebetulan membaca buku ngawur mengenai 4 orientasi emosi manusia itu, menyebarkan kepada teman-temannya mengenainya. Ujung-ujungnya, ada seorang kenalan saya yang "mengaku" kepada saya bahwa ia adalah seorang sanguinis sempurna dan calon pasangannya haruslah perempuan yang koleris agar bisa mengatur-aturnya.

WHAT?!

Dan tidak berhenti pada pemilahan dari sudut pandang "4 label" tersebut. Sering juga saya temui bahwa orang mencoba meramal sifat, keadaan psikologis, dan peruntungan seseorang dengan bertumpu pada tanggal lahir, zodiak, dan arah rumahnya dibangun (really!). Dan apakah Anda tahu, apa yang terbayang di benak saya setiap kali mendengar, melihat, dan mengetahui hal-hal seperti ini? Akan saya beritahu jika Anda memang ingin tahu. Sesuatu yang timbul dalam pikiran saya adalah seekor sapi. Ya, seekor sapi! Very dumb, very simple, dan tentunya... very inhumane. Yang saya maksud adalah ketika kita bertemu dengan sekumpulan sapi, kita tentunya langsung bisa mengelompokkan mereka ke dalam golongan-golongan yang simple and shallow tanpa menemui kesukaran sedikit pun. Golongan sapi yang berkulit bercak dan tidak. Golongan sapi jantan dan betina. Golongan sapi yang dapat dipelihara terus karena menghasilkan susu atau yang lebih baik segera disembelih karena kurang berguna. Golongan sapi yang rajin, pemalas, penggembira, dan sebagainya. Sapi sanguin, kolerik, melankolik, dan pragmatik.

*LOL*

Those're extremely illogical! Saya yakin dan mengetahui bahwa manusia tidaklah se-simple itu. Termasuk Anda dan saya, bukanlah makhluk sedangkal itu. Human is the most complex creature ever. Saya tidak mengatakan bahwa keempat label tersebut salah. Keempat label tersebut BENAR namun hanya merupakan SEBAGIAN KECIL dari karakteristik manusia sesungguhnya.

Jika Anda mau sedikit meluangkan waktu untuk mengamati orang-orang yang lewat di depan Anda, pastinya Anda akan menyadari hal ini. Perhatikan manusia-manusia lain di sekitar mereka. Ketegangan otot mereka, ekspresi wajah mereka, perkataan mereka, pikiran mereka yang tersampaikan dan tidak, insting mereka, perasaan mereka, keinginan dan hasrat mereka, hasil karya dan ciptaan mereka, orientasi mereka, mimpi mereka, interaksi mereka terhadap lingkungannya, dan sebagainya. Anda akan menyaksikan orchestra of complexities terbesar yang pernah ada di atas dunia ini.

Jika memang manusia se-simple yang dikira beberapa orang, lalu untuk apa para pemikir seperti Sigmund Freud atau Carl Jung sampai botak untuk meneliti manusia dan psikologinya? Lebih-lebih, psikologi hanya salah satu aspek dari manusia. Kita bahkan belum berbicara mengenai manusia dari sudut pandang economy, sociology, biology, chemistry, linguistic, behavioristic, palaeontology, geology, dan disiplin ilmu lainnya. Jika sekarang juga saya dan Anda duduk berdua sampil minum kopi hangat dan berbincang-bincang mengenai manusia, maka cakupan pembicaraan kita adalah sebesar alam semesta ini! Mulai dari phobia terhadap jarum sampai sepak bola. Mulai dari bacteria E. Coli sampai dengan solar panel system, semuanya mengenai manusia.

Masalahnya, kita seringkali tidak menyadari betapa luas dan uniknya diri kita sebagai sebuah (dan juga seorang) individu. Masih malas diri kita untuk mengeksplorasi lebih jauh "harta karun" apa saja yang terpendam dan menunggu dalam diri kita. Bukannya meng-explore tiap jengkal kemampuan, Anda malah sibuk mengerutkan "ukuran" Anda dengan mengkotak-kotakkan diri Anda dalam label-label yang sepatutnya diberikan kepada seekor sapi. Dengan pasrahnya Anda menerima takdir bahwa Anda adalah seorang melankolis sempurna dan sebagainya, sehingga tiap Anda harus bergerak melulu mengikuti takdir yang diciptakan manusia lain kepada diri Anda.

So, Guys,
Berhentilah percaya pada label-label omong kosong yang diberikan lingkungan pada kalian. Sebagai manusia yang semanusia-manusianya, percayalah pada naluri kemanusiaan kalian, bukan pada ilmu sapi. Anda dan saya adalah makhluk terunik yang pernah menghuni bumi, dan karena kerumitan itulah species kita berhasil mendominasi permukaan bumi selama berjuta-juta tahun. Lampaui batasan yang dibuat oleh diri Anda sendiri dan lingkungan Anda. Jangan hanya berkubang dalam melankolisme: kemurungan, kesedihan, puisi-puisi pengantar tidur indah, jenis-jenis sensitifitas yang kurang perlu, kekecewaan, dan sebagainya; namun cicipilah juga "rasa" manusia yang lainnya: kebahagiaan, penemuan diri sendiri, pembelajaran, progress, dan kemenangan. Ingat, label apapun yang diberikan oleh buku-buku psikologi picisan seharga @ 27.500 rupiah sama sekali tidak ada hubungannya dengan diri Anda. Pandang diri Anda dengan kedua mata yang terbuka-penuh; jika Anda tidak belajar menghormati diri Anda sendiri, bagaimana orang lain mau menghormati diri Anda? Banggalah bahwa Anda terlahir sebagai seorang manusia BUKAN sapi.

Jangan pernah percaya pada nasib.
Jangan pernah percaya pada takdir.
Jelajahi diri Anda dan...
Jadilah seorang pemenang.

Partner Anda,


Matthew Long

0 comments:

Related Posts: